Selasa, 02 Juni 2009

LELAKI PENDEK, HITAM & LEBIH JELEK DARI UNTANYA

“ Ada berjuta orang baik yang tidak kita kenal”

Di Baqi’ yang hening, kampung kecil di pinggiran Madinah, Rasulullah seperti biasa menyampaikan nasehat-nasehatnya. “Siapa yang pada hari ini mengeluarkan shadaqah, maka aku akan memberikan kesaksian baginya di sisi Allah pada hari kiamat,” begitu Rasulullah mengabarkan berita gembira.


Tak lama, datang seorang penduduk. Orang itu begitu hitam kulit mukanya, paling pendek diantara penduduk yang lain. Bahkan lelaki itu selama ini dianggap paling hina diantara mereka. Lelaki itu datang membawa seekor unta yang sangat bagus. Tidak ada seekor untapun yang lebih baik dari untanya. “Apakah unta ini untuk shadaqah?” Tanya Rasulullah.“Benar wahai Rasulullah.” Jawab lelaki itu. Tiba-tiba ada orang yang berkomentar mengejeknya, “Dia menshadaqahkan untanya? Padahal unta itu lebih bagus dari dirinya?” Mendengar perkataan itu, Rasulullah tidak senang dan berkata “Kamu sangat keliru, itu tidak benar. Bahkan orang ini lebih baik dari dirimu dan dari untanya. Engkau keliru.” Rasulullah bahkan mengulang perkataan itu tiga kali. Lalu menambahkan, “beruntunglah orang yang zuhud dan juga berusaha, beruntunglah orang yang zuhud dan juga berusaha.”


Begitulah, lelaki hitam dan pendek penduduk Baqi’ itu adalah fragmen tentang orang baik yang dilecehkan. Ia bukan saja tidak terkenal, bahkan ia dianggap paling hina diantara sesama warga kampung itu. Wajahnya hitam, tubuhnya pendek. Untanya lebih “ganteng” dari dirinya.


Pola pikir “lelaki pendek, hitam dan lebih jelek dari untanya” seperti itu, sesungguhnya hari-hari ini begitu mewabah. Kita hidup di tengah masyarakat yang hanya melihat harga orang lain dari tampilan luarnya. Maka disini berlaku hukum ketenaran, kemasyhuran, keterkenalan. Sesuatu yang sangat mudah direka-reka oleh industri media yang menggurita. Raksasa media hanya punya satu bahasa: bila kamu tidak terkenal, maka kamu bukan siapa-siapa. Kamu, hanyalah, “lelaki pendek, hitam dan lebih jelek dari untanya.”


Industri media semakin mengokohkan, bahwa menjadi terkenal saat ini tidak harus karena kebaikan. Ia bisa membuat yang buruk tampil terkesan baik, alami, manusiawi dan bagian dari hak asasi. Sebaliknya, ia bisa pula menampilkan orang-orang baik dalam format yang kumal, lusuh dan tak punya gairah hidup.


Semua itu telah memaksa orang dengan perlahan namun sangat massif, untuk merekam di bawah alam sadarnya, bahwa orang-orang besar ialah mereka yang berulang-ulang muncul di televisi, tampil di atas panggung, menyeruak diatas pentas. Maka segalanya menjadi sumpek dan sangat terbatas. Padahal, ada berjuta orang baik yang tak kita kenal. Ada berjuta orang baik yang tak pernah dikenal. Ada berjuta orang baik, yang seumur hidupnya, hingga akhir hayatnya, tak pernah sedetik pun muncul di televisi.


Memahami prinsip ini sangat penting. Tidak semata soal etika menghormati sesama. Lebih dari itu, sikap ini, kali pertama kepentingannya adalah untuk diri kita sendiri. Ialah agar kita tidak pernah sedetik pun merasa lebih baik dari orang lain, dalam hal apa saja. Agar kita tidak mengukur kebaikan dengan kacamata diri sendiri. Selalu memandang bahwa orang lain tidak sebaik dirinya. Sungguh, itu adalah kesalahan besar.

Dunia yang luas ini, semestinya memberi kita ruang kesadaran, bahwa ada begitu banyak orang yang tak kita kenal. Terlebih orang-orang baik diantara mereka. Berapakah saudara kita? Yang dengan mudah kita eja nama-namanya? Berapakah sahabat, kenalan, teman, dan karib kerabat kita? Yang dengan ringan bisa kita sebut namanya? Seratus, dua ratus, seribu? Kawan bermain di masa sekolah saja mungkin kita sudah lupa.

Seperti perlombaan di awan yang gelap, seperti itulah hidup kita. Kita semua berlari, mengejar apa yang layak kita persembahkan untuk kehidupan di akhirat kelak. Baik, buruk, ke surga atau ke neraka. Begitu pun orang lain. Disini, di negri ini, atau di negri asing nun jauh disana. Di sekitar kita atau jauh di pelosok-pelosok desa. Dalam lari yang panjang di medan amal itu, kita tidak pernah tahu, sejauh mana orang lain yang berjuta-juta jumlahnya di dunia ini, telah sampai pada kadar kebaikannya.


Dalam makna yang lebih mendalam, Rasulullah, seperti disampaikan Anas bin Malik, bersabda, “Berapa banyak orang yang kusut dan berdebu, memakai selembar pakaian lusuh, yang tidak mengundang perhatian, namun sekiranya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah mengabulkannya.” (HR. Turmudzi)


Siapapun kita, sejujurnya kita bukan siapa-siapa. Dilihat dari kenyataan bahwa ada berjuta orang lain diluar sana, yang mungkin tidak pernah kita kenal sebelumnya dan mungkin tidak akan pernah kita kenal selamanya. Sangat mungkin diantara mereka adalah orang-orang yang jauh lebih baik, lebih terhormat, lebih banyak kebajikannya, lebih luas pengetahuaanya, lebih khusyu’ penghambaannya dan lebih kuat pengharapannya kepada Allah SWT daripada kita.


Syafi’i sendiri, mengajarkan kepada kita, bahwa menjadi baik, tidak harus terkenal, ketika ia berkata, “saya ingin sekali manusia mengetahui ilmu ini, dan tidak menisbahkannnya sedikitpun pada saya selama-lamanya.” Ia lantas memberi alasan, “agar aku diberi pahala karenanya, dan mereka tidak memuji aku.”

Menjadi baik, tidak serta merta terkenal. Sebagaimana orang-orang terkenal, kesohor bukan berarti ia orang-orang yang layak ditiru. Ini adalah zaman dimana keternaran bisa dengan modal murahan, termasuk menggadaikan kehormatan dan jati diri.
Di hari-hari yang penuh fitnah ini, kita harus yakin, ada begitu banyak orang yang tak kita kenal, tapi mereka jauh lebih baik dari kita. Kesadaran ini akan memacu 2 hal sekaligus: kita akan terus berbenah, menata diri dan meningkatkan kebaikan. Kedua, bahwa kita tidak boleh merasa cukup, merasa lebih baik, sebab kelak hanya di akhirat, kita akan tahu, dalam persidangan massal seluruh penduduk bumi, apakah kita baik atau tidak baik
Ada banyak orang yang memilih tidak dikenal. Mereka mencintai pilihan hidup yang juga dicintai Allah, seperti disabdakan Rasulullah, “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang sembunyi-sembunyi, miskin, bertakwa dan berbuat kebajikan. Jika mereka tidak tampak mereka tidak dicari orang, dan apabila mereka tampak mereka juga tidak dikenali orang. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dari segala cobaan yang buta dan gelap.”
Ada berjuta orang-orang yang memilih jalan itu. Ya ternyata, ada berjuta orang baik yang tak kita kenal.


*Tulisan ini diambil dari tulisan Bapak Ahmad Zairofi AM dalam buku dengan judul yang sama

Tidak ada komentar: