Selasa, 10 Maret 2009

Rohingya, Muslim Minoritas Yang Tertindas






Saat saudara-saudara kita di Jalur Gaza, Palestina digempur habis-habisan. Anak-anak menjerit, wanita dan pria dewasa menderita, ada saudara kita di tempat lain yang tak kalah menderitanya namun luput dari perhatian dunia, termasuk kita saudara mereka di Indonesia.Tak hanya luput dari perhatian kita, bahkan pemerintah kita pun berencana mengusir ratusan manusia perahu dari muslim Rohingya yang singgah di Pulau Sabang, Aceh. Setelah berbulan-bulan hidup di lautan sebagai manusia perahu, akhirnya mereka berlabuh di Pulau Sabang berharap mendapat tempat yang lebih layak dari negeri kelahiran mereka sendiri di Burma. Di negeri sendiri, mereka ditindas dan dimusnahkan. Sayang sekali, harapan mereka untuk mendapat tempat layak di Sabang terancam punah, karena Indonesia, negeri yang mereka sebut saudara tua karena sama-sama pemeluk agama Islam, justru hendak mengusir dan mengirimkannya kembali ke negaranya.

Padahal, jika dikembalikan ke Burma, pilihan mereka hanya satu, mati. Itulah alasan mereka terpaksa hengkang dari negerinya sendiri untuk bertahan hidup. Tentu mereka tak ingin, Rohingya habis ditelan bumi jika terus menerus bertahan di tanah mereka. Perlu ada yang menyelamatkan generasi Rohingya dengan cara mengungsi ke negara-negara tetangga.

Komunitas muslim Rohingya adalah kaum minoritas di daerah Utara Arakan, sebelah barat Burma. Mereka, dianggap sebagai orang-orang yang tak bernegara dan tidak diakui secara penuh kewarganegaraannya oleh pemerintah Burma. Tidak seperti golongan etnik lainnya yang setidaknya diakui warganegaranya oleh rezim Burma, masyarakat Rohingya dianggap sebagai penduduk sementara dan tidak mendapat hak kewarganegaraan penuh.

Mereka diharuskan mendapat izin sebelum menikah, dan izin tersebut biasanya disahkan setelah beberapa tahun. Pergerakan merekapun dibatasi - mereka diharuskan mendapat izin bahkan untuk singgah ke desa lainnya, dan sering dihalangi untuk mendapat pengobatan dan pendidikan. Sebagai “orang asing”, masyarakat Rohingya tidak diperbolehkan bekerja sebagai pengajar, perawat, abdi masyarakat atau dalam layanan masyarakat, dan di wilayah Rohingya, para pengajarnya biasanya berasal dari golongan etnik Budha Rakhine, seringkali menghalangi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakat Rohingya. Pemerkosaan dan kerja paksa adalah hal yang cukup lazim, serta seringnya pemerasan terhadap mereka. Tentara meminta uang dari mereka dan ketika mereka tidak dapat membayar, mereka akan ditahan dan disiksa.

Masyarakat Rohingya juga mengalami penyiksaan secara religi. Hampir tidak mungkin bagi mereka untuk mendapat izin renovasi, perbaikan dan pembangunan Masjid. Dalam tiga tahun terakhir, setidaknya 12 Masjid di Arakan Utara dihancurkan, dengan jumlah terbesar di tahun 2006. Sejak 1962, tidak ada Masjid baru yang dibangun. Bahkan para pemimpin agama telah dipenjara karena merenovasi Masjid.

Perlakuan rezim Burma terhadap kaum minoritas muslim Rohingya, disebut-sebut “seburuk-buruk perlakuan terhadap kemerdekaan manusia”. Seorang pejabat senior PBB yang sering bertugas ke daerah-daerah krisis kemanusiaan menggambarkan kekejaman yang terjadi di Utara Arakan, bagian barat Burma, “Kalian akan mengerti arti kesengsaraan ketika kalian melihatnya”.

Kesengsaraan muslim Rohingya sudah dimulai sejak tahun 1978 oleh Junta Myanmar, akibatnya ratusan ribu orang mengungsi ke negara-negara tetangganya dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Antara lain mereka mengungsi ke Bangladesh yang berbatasan dengan Burma dan sebagian lainnya menjadi pengungsi di perbatasan Burma dengan India. Suasana kelaparan sangat terlihat di daerah-daerah pengungsian tersebut. Di Perbatasan dengan Cina, wanita-wanita Rohingya dijual ke tempat-tempat prostitusi.

Di Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia, para pengungsi Rohingya juga tak mendapat jaminan kondisi yang lebih baik dibanding negaranya. Sekitar 250 ribu pengungsi di Bangladesh tinggal di desa-desa atau kamp-kamp buatan yang sangat memprihatinkan. Di kamp-kamp tersebut, mereka tidak mendapat akses kesehatan, pendidikan maupun jatah makanan dari pemerintah. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) pernah memulangkan sekitar 200 ribu warga Rohingya ke Burma, namun banyak yang kembali ke pengungsian. Mereka tak sanggup bertahan di daerah asalnya. “Selama pelecehan hak-hak kemanusiaan masih terjadi di Burma, kami tidak akan kembali. Kami terjebak antara mulut buaya dan ular, kemana kami akan pergi?” ujar salah seorang pengungsi. Mereka bingung, pemerintah Burma menganggap Rohingya itu orang Bengal, sedangkan pemerintah Bangladesh juga mengusir mereka karena Rohingya itu orang Burma. “Kemana kami akan pergi?”

Tidak hanya pemerintah Burma yang mengintimidasi mereka, bahkan Junta pun menggembar-gemborkan gerakan anti Islam di kalangan masyarakat Budha Rakhine dan penduduk Burma sebagai bagian dari kampanye memusuhi Rohingya. Gerakan ini berhasil, masyarakat Rohingya menghadapi diskriminasi oleh pergerakan demokrasi Burma. Sebagian masyarakat Rakhine dan Burma menolak untuk mengakui Rohingya sebagai golongan etnik, dan mereka telah ditolak dalam keanggotaan Dewan Nasional Etnis. “Muslim Arakan”, “Muslim Burma” atau “Bengal dari Burma” adalah nama-nama yang disematkan kepada Rohingya sebagai bahan ejekan.

Masyarakat Rohingya bukan sekadar memertahankan identitas etnis mereka di Burma, perjuangan yang mereka lancarkan di daerahnya juga untuk tetap membuat Islam berdiri di Burma. Rohingya, sejak tahun 1978 berteriak, menjerit sekeras-kerasnya kepada dunia, namun suara-suara itu hilang ditelan bumi, terhalang tembok-tembok rezim dan hilang terbawa angin. Mereka, saudara yang terlupakan. Percayalah kawan, hingga detik ini mereka masih sangat sengsara dan berharap uluran tangan dari saudara-saudaranya di manapun. (gaw)

Sumber: http://warnaislam.com/rubrik/monolog/2009/2/2/29880/Rohingya_Saudara_Terlupakan.htm

1 komentar:

Anonim mengatakan...

dukung dan support kami di http://saverohingya.com